Jakarta-Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai pihak penggugat masih mem- perkarakan pembubaran ormas HTI oleh pemerintah, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebagai pihak tergugat dalam sidang lanjutan pembacaan duplik Kemenkumham atas replik HTI, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jalan A. Sentra Primer Baru Timur, Jakarta Timur, Kamis 4 Januari 2017.
Kuasa hukum Kemenkumham yang terdiri atas Hafzan Taher, I Wayan Sudir- ta, Teguh Samudera bergantian membacakan duplik atas replik HTI. Dalam sidang gugatan yang teregister di nomor 211/G/2017/PTUN-JKT.
Hafzan Taher mengungkapkan, bahwa penerbitan Objek Sengketa Tata Usa- ha Negara telah sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan. Tergugat menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) telah mempertimbangkan unsur-unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.
Adapun Objek Sengketa Tata Usaha Negara tersebut, telah dibuat sesuai Prosedur, berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan.
“Tergugat menerbitkan Objek Sengketa Tata Usaha Negara dengan memper- timbangkan bukti-bukti yang ada mengenai kegiatan Penggugat selama ini,” tuturnya.
Dalam sidang Duplik tersebut, Hafzan mengatakan, ormas HTI menolak adanya pemilu dan mengangap demokrasi adalah produk sekuler. Dan dari bukti-bukti yang ada, tampak bahwa kegiatan Penggugat mengancam eksis- tensi Pancasila selaku Ideologi Negara dan Falsafah Negara.
“Akan menggantikan UUD 1945 selaku Konstitusi NKRI sekaligus mengancam Keutuhan NKRI,” tuturnya menjelaskan.
Hafzan melanjutkan, bahwa Penggugat telah mengadopsi dan mener- jemahkan dan menerbitkan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami Hizbut Tahrir (AD Dustur Al Islami) yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani.
Selain itu, Penggugat juga telah mengadopsi, menerjemahkan dan mener- bitkan Buku Peraturan Hidup dalam Islam (Edisi Mutamadah) yang ditulis oleh syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf an-Nab- hani.
“Penggugat berulang kali dalam kegiatan dan yang dilaksanakan di berbagai daerah telah menyatakan maksud dan tujuannya untuk mengganti Pancasila, menghapus sekat-sekat nasionalisme dan demokrasi, serta akan menggan- tikannya dengan sistem khilafah yang menghapus Kedaulatan Negara dan nantinya akan dipimpin satu Khalifah Tunggal,” ucapnya saat membacakan Duplik.
Penggugat, Hafzan kembali mengungkapkan, telah melakukan upaya-upaya indoktrinasi dan provokasi untuk menghasut serta menghilangkan keper- cayaan rakyat terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara dan Falsafah Negara, serta UUD 1945 sebagai Konstitusi NKRI.
Kuasa hukum Kemenkumham lainnya, I Wayan Sudirta menambahkan, se- belum menerbitkan objek sengketa. Kemenkumham sudah berkoordinasi dengan beberapa lembaga instansi. Kemenkumham di bawah koordinir Ke- menkopolhukam atas nama pemerintah, juga memilki beberapa alat bukti HTI sesungguhnya tidak sepaham dengan ideologi Negara yaitu Pancasila.
Menurutnya, bahkan ormas HTI juga berencana membentuk suatu partai. Dan di berbagai daerah menyebutkan khilafah mengganti pancasila dan UUD 1945 itu pelangaran pasti. Kemudian tercatat sebanyak dua kali kegiatan di Gelora Bung Karno mewacanakan pergantian pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
“Mereka mendalilkan juga bahwa Menkumham telah salah dalam membuat keputusan. Padahal tiap keputusan yang berisfat ekstune, pejabat tata usaha negara membuat keputusan berdasarkan catatan peraturan yang ada dan su- dah ada,” ucap I Wayan Sudirta.
Sementara itu, Teguh Samudera menjelaskan menilai HTI sudah tidak memili- ki legal standing untuk mengajukan gugatan. Sebab ketika surat keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan pengesahan pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI tertanggal 19 Juli 2017 sudah dikeluarkan, pihak HTI seharusnya tidak bisa menggugat.
“Tidak ada undang-undang yang menyebutkan acara PTUN berbeda untuk status badan hukum. UU itu berlaku umum, di mana saat surat (SK pencabu- tan HTI) itu keluar langsung mati (tidak bisa menggugat),” ucapnya.
Dalam sidang Duplik atas replik HTI, menurutnya, Pengugat kerap kali men- gangkat tema sola kemiskinan dan permasalahan sosial dalam mendirikan negara Islam.
“HTI seperti ilusi ingin mendirikan negara Islam. Oleh karenanya tergugat berharap yang Hakim mulia persidangan dapat memperhatikan isi Duplik yang dibacakan,” tuturnya.